Ada cerita yang seru dari pertemuan antara Imam Asy Syafi’i dengan Imam Ahmad. Kala itu Ahmad bin Hambal bersama kedua sahabatnya Yahya bin Ma’in dan Ishaq bin Rahawaih, akan mengikuti majelis hadits dari Imam Sofyan bin Uyainah, namun dalam kawanan itu tiba-tiba Ahmad bin Hanbal menghilang dari mejelis.
Kemudian dicari-cari oleh kedua sahabatnya ternyata Imam Ahmad sedang khusyu’ dalam majelis seorang syaikh muda yang hampir seumuran dengan mereka.
“Kenapa kau tinggalkan majelis Sofyan bin ‘Uyainah seorang ahli hadits yang tsiqqoh untuk bermajelis dengan seorang syaikh muda yang umurnya tidak terpaut jauh dari kita?” Tanya keduanya penuh heran kepada Imam Ahmad.
“Diam dan duduklah, kalau kita kehilangan majelis Sofyan bin Uyainah dengan hadits bersanad ‘Aly maka kita masih bisa mencari melalui muridnya, tapi jika kita kehilangan pemuda ini maka kita tidak akan mendapatkan orang macam ini dimanapun di muka bumi ini.”
Ishaq bin Rahawaih dan Yahya bin ma’in agak sangsi, pada akhirnya mengikuti mejelis Imam Syafi’ie perlahan mengakui kecerdasan beliau atas hujjah dan pandangan-pandangan yang disampaikan, meski demikian masih ada keraguan, apa benar sehebat yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal?
Ishaq bin Rahwaih meminta Imam Ahmad untuk menanyakan maksud hadits:
“Biarkan burung dalam sarangnya!”
“Tafsir hadits tersebut sangatlah jelas, yaitu biarkanlah burung-burung berlindung di sarangnya pada malam hari” Ujar Imam Ahmad.
Sekalipun sudah dijelaskan oleh Imam Ahmad, dan keduanya pemiliki pemahaman yang sama terhadap makna hadits, Ishaq tetap ngotot akan menanyakannya untuk menguji kefaqihan Asy Syafi’i.
Di Atas langit Masih Ada Langit
“Wahai keturunan bani Al Muthallib*, apakah maksud dari sabda rasulullah Biarkanlah burung-burung pada sarangnya“
Imam Asy Syafi’i terdiam sejenak atas pertanyaan itu, lalu berkisah:
“Adapun aku,” sambung beliau, “Mendapatkan hadits itu dari guru kami, Sufyan ibn Uyainah. Beliau membacakannya di tengah-tengah kami di majelisnya di Masjid ini. Ketika itu, aku masih berusia kira-kira 10 tahun. Lalu ada seseorang yang menanyakan maksud hadits itu kepada beliau.”
“Mendengar soalan itu, beliau menggigil bagaikan burung yang terjebak dalam badai. Beliau amat ketakutan dan menjawab dengan gemetar, ‘Demi Allah, aku tak tahu apa maksud hadits ini. Ya Allah, ampunilah hambaMu yang bodoh ini, yang tak mengerti apa yang dia katakan tentang sabda NabiMu!’ Beliau mengulang-ulang kalimat itu dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin membasahi tubuhnya.
Melihatnya, aku pun berkata, “Rahimakallah, ya Aba Muhammad.”
“Maka”, lanjutnya, “‘Ibnu ‘Uyainah menggamit tanganku dan mendudukkanku di samping kursinya. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, engkau berasal dari Quraisy. Engkau adalah bagian dari kerabat Rasulullah. Sungguh engkau lebih memahami tentang keadaan orang Arab dan maksud sabda Nabi ini. Ajarilah kami apa maknanya!’”
Maka saat itu dengan penuh ta’zhim sang mu’allim membahas takwilnya. Beliau berkata, “Dahulu orang Jahiliyah, jika hendak bepergian, maka mereka meramal safarnya dengan Thiyarah, yakni menggunakan burung. Mereka menangkap seekor burung, lalu melepaskannya lagi dengan terlebih dahulu membisikkan mantra-mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, itu dianggap pertanda baik. Kemudian mereka akan melangsungkan perjalanannya. Namun jika burungnya terbang ke kiri atau ke belakang, itu dianggap pertanda buruk, sehingga mereka mengurungkan atau menunda keberangkatannya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini, yakni tathayyur, masih dilakukan di kalangan sebagian orang dalam Islam, maka beliau pun bersabda pada mereka, ‘Biarkanlah burung di dalam sarangnya. Berangkatlah pagi-pagi dengan menyebut Asma Allah.’”
Semua yang hadir berdecak takjub dan memuji Allah akan ilmu Sang Guru. Ishaq tersenyum puas pada kedua rekannya seraya berkata, “Demi Allah, andai kita datang dari ‘Iraq dengan berjalan kaki hanya untuk mendengar makna hadits ini semata, sungguh kita tidak rugi sama sekali!”
Imam Ahmad mengangguk. Lalu beliau menyampaikan pujian dengan menukil Surat Yusuf: 76.
Ternyata Di atas langit masih ada langit…
Faidah dari Kitab Manaqib Imam Asy Syafi’i karya Imam Fakhruddin Ar Razi, dan Tausiah Ustadz Salim A Fillah